Senin, 20 Mei 2013

Bersyukurlah..Niscaya Allah Akan Menambah Nikmat-Nya

Aku Terpaksa Menikahimu dan Akhirnya Aku Menyesal

Ilustrasi
Kisah “aku terpaksa menikahimu dan akhirnya aku menyesal” adalah kisah rumah tangga yang sangat memberi pelajaran bagi kita semua. Penyesalan yang datangnya hanya pada akhir karena keterpaksaan.
***
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Setelah menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak.

Sumber : www.muslimahzone.com

Jumat, 10 Mei 2013

Makalah Studi Alquran

BAB I
PENDAHULUAN

Orang yang hendak menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, terlebih dahulu harus tahu dan memahami dulu beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan pemahaman makna kalimat yang hendak ditafsirkan. maka dalam hal ini terdapat Qawaid Tafsir. Qawaid Tafsir itu sendiri adalah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, sedangkan Muthlaq dan Muqoyyad ini merupakan salah satu bagian dari macam-macam Qawaid Tafsir yang merupakan inti materi yang akan penulis jelaskan lebih jauh dalam makalah ini.
Didalam pembahasan tentang muthlaq dan muqoyyad merupakan hal yang paling terpenting untuk dijelaskan karena seseorang yang belajar ilmu alquran atau ilmu fiqih namun tidak mengerti akan perbedaan dari muthlaq dan muqoyyad akan terjadi kesalahfahaman dalam mengartikan sebuah ayat atau kitab lainya. Di dalam pembahasan tafsir yang banyak terjadi kesalahfahaman itu terletak pada pembahasan muthlaq dan muqoyyad. memang pembahasan tersebut memerlukan ketelitian dan kehati-hatian sehingga seseorang dalam memahami ayat tidak cukup mamahami secara dohir saja akan tetapi harus mengetahui tentang muthlaq dan muqoyyad atau memahami tafsiran ayat tersebut. Tulisan ini akan mencoba membahas tentang muthlaq dan muqoyyad dalam qowa’id al-tafsir

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Muthlaq
Kata muthlaq secara bahasa berarti tidak terikat dengan ikatan atau syarat tertentu, secara istilah lafal muthlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudu’nya (sasaran penggunaan lafal ) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal muthlaq sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya. Dengan kata lafal muthlak adalah lafal yang menunjukkan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu.
Muthlaq ialah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti firman Allah SWT
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
Maka bebaskanlah seorang hamba sahaya (Al-Mujâdilah ayat 3)
Artinya :Maka (wajib) atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Ini berarti boleh membebaskan  hamba sahaya yang tidak mukmin atau hamba sahaya yang mukmin.
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujâdilah ayat 3)
Dalam ayat diatas terdapat lafal yang berarti budak yang tidak ada batasannya berupa sifat atau keadaan lainnya yang membatasi cakupannya. Sehingga lafal budak ini digolongkan kepada lafal muthlaq, karena mencakup sembarang budak.
2. Muqayyad
Muqayyad ialah suatu lafaz yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan.
Menurut Syekh Al-Khudri Beik mengatakan bahwa Muqayyad adalah :
“Muqayyad ialah lafal yang menunjukkan kepada suatu objek (afrad) atau beberapa obyek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu”
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan muqayyad itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti.
Sebagai contoh :
Artinya : “Maka hendaklah (ia) memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyad yang diserahkan kepada keluarganya”

Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya(QS.An-nisa’ ayat 92)
Lafal budak yang beriman merupakan muqayad, karena telah dibatasi oleh suatu sifat yang cakupan maknanya menjadi lebih spesifik dan terbatas. Jika disebut budak yang beriman berarti budak yang tidak beriman tidak tercakup didalamnya.
B. Hukum Lafal Muthlaq dan Muqoyyad
Lafal mutlaq dan muqayad masing-masing menunjukkan kepada makna yang qath’i dalalahnya, karena itu bila lafadh itu muthlaq maka harus diamalkan sesuai dengan muthlaqnya, bila lafal itu muqayad maka harus diamalkan sesuai dengan muqayadnya, yang demikian itu berlaku selama belum ada dalil yang memalingkan artinya dari muthlaq ke muqayad. Adapun contoh-contohnya antara lain :
1. Lafal Muthlaq yang harus diamalkan sesuai dengan muthlaqnya, karena tak ada dalil lain yang memalingkan aslinya ke Muqayyad seperti yang terdapat dalam firman Allah mengenai wanita-wanita yang haram di nikahi dalam surat An-Nisa ayat 23 :

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Lafal أُمَّهَاتُ adalah muthlaq yang memberi pengertian haram mengawini ibu si istri (mertua) baik ia telah mencampuri istrinya ataupun belum.


2.  Lafal Muthlaq yang ada dalil lain yang menyebabkan ia menjadi muqayad seperti dalam firman Allah mengenai kewarisan pada surat An-Nisa ayat 11 :


Lafal وَصِيَّة disini adalah muthlaq tanpa ada batasan apakah wasiat itu seperdua, sepertiga atau seluruh harta peninggalan. Akan tetapi di tempat lain ada hadits Rasulullah saw. yang mengabarkan bahwa saat Ibnu Abi Waqqas bertanya kepada Rasululah saw. dalam suatu dialog ketika beliau mengunjunginya waktu ia sakit, berapa seharusnya ia berwasiat terhadap harta bendanya. Rasulullah saw. menjawab :
artinya : “sepertiga dan sepertiga itu banyak”
Hadits ini membatasi wasiat itu hanya sampai sepertiga saja. Tidak boleh lebih. Dengan demikian wasiat dalam ayat di atas menjadi muqayyad dengan adanya hadits tersebut.
3. Lafal Muqayyad yang tetap atas maqayadnya karena tidak ada dalil lain yang menghapuskan batasannya. Contoh firman Allah tentang kifarat zihar dalam surat Al-Mujadilah ayat 3-4
                        
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
                                
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Pelaksanaan kifarat zihar dengan memerdekakan budak dan puasa yang diberi batasan berturut selama dua bulan dan harus dilakukan sebelum kedua suami istri bercampur adalah muqayyad dengan ketentuan tersebut, tidak boleh dilakukan sesudah bercampur dan juga tidak boleh tidak berturut-turut berpuasa selama 2 bulan.
4. Lafal Muqayyad yang tidak menjadi muqayyad lagi karena ada dalil lain yang menghapuskan batasannya itu. Contoh pada firman allah dalam surat An-Nisa ayat 23 tentang wanita-wanita yang haram dikawini disitu disebutkan :

              

Lafal رَبَائِبُكُمُ (anak tirimu) adalah muthlaq yang diberi batasan dengan dua batasan. Yang pertama  (yang berada dalam pemeliharaanmu)
dan yang kedua, ibunya sudah dicampuri ()
Batasan yang kedua yaitu “ibunya yang dicampuri” Maka tidak berdosa kamu mengawininya selama ibunya belum dicampuri. Bila sudah dicampuri hukumnya haram.


C. Kedudukan Muthlaq dan Muqoyyad
Prinsip dasar yang harus diperhatikan lafal nash muthlaq dan muqayad ini adalah lafal muthlaq tetap pada kemuthlaqannya, selama tidak ada dalil yang memberikan batasan dan begitu pula sebaliknya, muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Jika lafal muthlaq terdapat suatu dalil yang memberi qayyid maka ia berubah tidak muthlaq lagi, ada dua segi yang harus diperhatikan dalam melihat kedudukan lafal muthlaq dan muqayyad.
1.  Membawa muthlaq kepada muqayad, kemudian di tempat lain disebutkan dengan muqayyad. Hal seperti ini ada 2 ketentuan yaitu :
a). Jika ketentuan hukum sama dan sebab penetapannya juga sama. Contoh dalam Al-Quran dijelaskan sebagai berikut :


Artinya: ”diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging Babi (QS, Al-Maidah : 3)
Di dalam ayat ini, lafal الدَّمُ (darah) disebutkan secara muthlaq tanpa dibatasi oleh sifat-sifat bagi darah tersebut. Kemudian dalam nash lain disebut bahwa darah yang mengalir. Hal ini dijelaskan dalam nash lain sebagai berikut :
       •          ••        •           •      
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena Sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".(Al-An’am ayat 145)
Dalam ayat ini, disebutkan darah yang mengalir (مَسْفُوحًا دَمًا) dengan demikian lafal (دَمًا) menjadi muqayyad, karena telah diberi batasan dengan kata (مَسْفُوحًا)
b). Ketentuan hukum berlaku sama, tetapi sebab yang melatarbelakangi penetapannya berbeda. Contoh tentang kafarat zihar dan kafarat pembunuhan tak sengaja (tersalah), dengan memerdekakan seorang budak. Kafarat zihar disebutkan dengan lafal muthlaq, seperti dalam ayat :
                         
Dan orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Mujadalah ayat 3):
Kemudian tentang kafarat pembunuhan tak sengaja (tersalah) disebutkan dengan lafal muqayyad seperti dalam ayat :
   •        
Dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah  (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat  yang diserahkan kepada keluarganya (QS. An-Nisa : 92).

Dari kedua ayat diatas dapat dipahami bahwa ketentuan hukum berlaku sama, yaitu kafarat memerdekakan budak, tetapi pada ayat pertama disebutkan secara muthlaq dan pada ayat kedua secara muqayyad yakni budak yang mukmin
2.  Muthlaq tidak dibawa kemuqayyad. Dalam hal seperti ini ada dua hal yang harus diperhatikan :
a).  Jika ketentuan hukum muthlaq dan muqayyad berbeda serta latar belakang kasusnya (sebab) juga berbeda, maka muthlaq tidak dibawa kepada muqayyad. Ketentuan hukum muthlaq diamalkan sesuai dengan muthlaqnya, begitupun sebaliknya.
Contoh tentang lafal (tangan) yang berkaitan dengan potong tangan karena mencuri dan kewajiban membasuh tangan ketika berwhudu’. Kedua kasus ini berbeda ketentuan hukumnya dan berbeda pula latar belakangnya. Ayat berikut ini dapat dipahami yaitu :
                
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah : 38).
Lafal tangan (yadun) pada ayat ini adalah muthlaq dan tidak dapat diberi qayid (batasan) hingga siku atau pergelangan tangan.  Sementara itu dalam ayat berikut ini di jelaskan lafal tangan diberi qayid yang kedudukannya muqayyad.

                 
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, .” (QS. Al-Maidah: 6)
Kata aydikum dalam ayat ini di-muqoyyad-kan dengan siku sehingga tidak lagi dimaknai tangan secara mutlak. Dengan demikian, lafal itu bermakna bahwa tangan yang wajib dibasuh adalah bagian yang meliputi ujung jari sampai siku. Demikian pula kata arjulakum (kakimu), ia tidak diartikan kepada kaki secara muthlaq, tetapi di-qaid-kan dengan ilal ka’bain (hingga dua mata kaki). Dengan demikian, makna kaki dibatasi pada bagian tertentu saja, yaitu mata kaki, buka seluruh bagian kaki.
Dari contoh kasus dalam dua ayat diatas, maka muthlaq tidak dibawa ke muqayad, masing-masing diamalkan sesuai dengan ketentuan hukumnya. Karena baik ketentuan hukumnya maupun latarbelakang kasusnya berbeda satu sama lainya.
b).   Ketentuan hukum berbeda tetapi latar belakang kasusnya sama. Dalam hal ini muthlaq dan muqayyad diamalkan sesuai dengan ketentuan hukumnya masing-masing. Misalnya kedua tangan hingga siku adalah muqayyad. Sementara dalam soal tayamum disuruh sapulah tanganmu, tetapi disebut dalam bentuk muthlaq seperti :
        
artinya : “...Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (bersih) sapulah (usaplah) mukamu dan tanganmu dengan tanah itu” (QS. Al-Maidah: 6)
Kedua kasus ini hukumnya tidak sama, Akan tetapi sebab dan latar belakang kasusnya sama yaitu karena hendak mendirikan shalat.
Al-Quran dalam menggunakan suatu lafal kadang-kadang dalam bentuk muthlaq dalam suatu perbincangan, tetapi dalam perbincangan lainnya ia menggunakan lafal muqoyyad. Menjadi persoalan disini, apakah lafal Muthlaq itu boleh ditafsirkan dengan lafal muthlaq tersebut?, terdapat beberapa kaidah mengenai hal itu, yaitu sebagai berikut :
a.    Apabila lafal muthlaq dan muqoyyad itu memperbincangkan persoalan dan hukum yang sama, maka para ulama sepakat bahwa lafal muthlaq itu di-muqoyyad-kan oleh lafal muqoyyad yang ada.
b.    Apabila lafal muthlaq dan muqoyyad itu memperbincangkan sebab yang sama, tetapi hukumnya berbeda, para ulama sepakat bahwa lafal muthlaq itu tidak dapat di-muqoyyad-kan oleh lafal muqoyyad yang ada.
c.    Apabila lafal muthlaq dan muqoyyad itu memperbincangkan sebab yang berbeda tetapi hukumnya sama, maka para ulama tidak sepakat mengenai boleh atau tidaknya lafal muthlaq itu di-muqoyyad-kan oleh lafal muqoyyad yang ada. Imam Hanafi berpendapat, lafal muthlaq itu tidak bisa dimuqoyyad-kan dengan lafal muqoyyad yang ada. Akan tetapi, jumhur ulama membolehkan lafal muthlaq itu tidak bisa di-muqoyyad-kan dengannya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Muthlaq adalah suatu lafaz nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya. Muqayyad adalah suatu lafal yang maknanya telah tertentu, karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti.
Lafaz muthlaq dan muqayyad masing-masing menunjukkan kepada makna yang qad’i dalalahnya. Bila lafaz itu muthlaq maka harus diamalkan sesuai dengan ke-muthlaq-kannya, begitupun sebaliknya dengan muqayyad.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, pemakalah menyadari banyaknya kekurangan-kekurangan, baik dari segi isi maupun dalam penulisan. Untuk itu kami sebagai pemakalah sangat mengharapkan sekali baik itu kritikan, saran, ataupun masukan yang sifatnya membangun dan demi kemajuan masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta, 1985.
Manna Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qua’an,Maktabah Wahbah, Kairo, 2004.
Bakry Nazar, Fiqh & Ushul Fiqh, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2003.
Yusuf.M Kadar, Studi Alquran, Amzah, Jakarta: 2012.
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh, Zikrul Hakim, Jakarta : 2004.
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Gaya Media Pratama, Jakarta : 1999
Daly Deunoh, Syihab Quraisy, Ushul Fiqh II, Depertemen Agama, Jakarta : 1986.


Hikmah Dibalik Musibah orang Lain

Penyebab Wanita Kebanyakan Masuk Neraka
Muslimah Cantik, Menjadikan Malu Sebagai Mahkota Kemuliaan
Indahnya Malam Pertama…Bagaimana Caranya?
Apa Yang Diperbolehkan Melihat Wanita Yang Akan Dipinang?
1001 Cara Bisikan Syetan Untuk Kaum Wanita

Kisah ini sengaja kami tuangkan sebagai pembelajaran dengan maraknya peluang dan kejadian perselingkuhan yang banyak terjadi di kota kota besar, semoga kisah ini tidak menjadi terulang dan menjadi pelajaran yang sangat berharga betapa perselingkuhan itu sangat menghancurkan tatanan keluarga , kesolidan dalam menata dan membangun karakter keluarga khususnya menghadapi kehidupan  di kota besar ini, silahkan memetik pelajaran yang berarti dari kisah di bawah ini :

Saya seorang suami (umur 32 th) dan istri saya umur 29 th, Alhamdulillah kami telah membina rumah tangga selama 8 tahun dan telah dikaruniai 2 putra putri (SD dan TK). Kami berdomisili di Semarang.

Saya seorang pegawai negeri, istri saya seorang pegawai swasta. Istri saya sudah bekerja di perusahaan ini (perusahaan jasa konsultasi pajak) sudah selama 8 tahun sebagai seorang sekretaris merangkap admin dan keuangan (karena perusahaan itu sifatnya milik perorangan dan tidak begitu besar). Tetapi sekitar bulan September 2012 istri saya terpaksa resign dari pekerjaannya (karena pengasuh anak-anak kami), tetapi karena atasannya sangat menggantungkan dan mempercayakan pekerjaan pada istri saya, maka istri saya diminta untuk datang kekantor setidaknya 2 kali setiap pekannya untuk datang ke perusahaannya itu untuk mengurus keuangan perusahaannya. Waktu itu kami berpikir alhamdulillah masih ada tambahan untuk kebutuhan keluarga.

Hubungan persaudaraan keluarga kami dan keluarga atasan istri saya baik.

Sekitar 1 bulan yang lalu, istri dari atasan istri saya (sebutlah nama atasan istri saya adalah si Z dan nama istrinya adalah ibu Y), menelepon saya karena akan berkunjung ke kantor saya dengan alasan ada proyek baru. Tetapi saya mempunya firasat lain, pasti ada sesuatu yang akan disampaikan diluar proyek tersebut. Dan ternyata benar, ibu Y menyampaikan bahwa suaminya jalan dengan istri saya dengan kata lain Selingkuh!!!

Firasat saya benar , pasti ada apa-apa dengan istri saya. Pikiran negatif terhadap istri saya selama bertahun-tahun ini menjadi kenyataan. Luluh dan hancur hati dan perasaan saya, apalagi ketika ibu Y memperlihatkan isi BBM-an suaminya dengan istri saya. Ibu Y tahu kejadian ini dari BB suaminya yang teledor menyimpan BB nya.

Sungguh sakit kami membaca isi BBM itu, isi itu sudah diluar batas kewajaran, sangat jorok dan jijik saya membacanya.

Singkat cerita akhirnya saya memanggil istri saya dan saya meminta ibu Y membawa si Z kerumah saya dengan tujuan akan diinterogasi. Saya meminta bantuan kakak ipar saya (kakak dari isteri saya untuk mendampingi saya dan juga sebagai saksi). Akhirnya saya, istri saya, kakak ipar saya, ibu Y dan si Z berkumpul di rumah saya.

Dengan bukti percakapan BBM yang sudah saya print dan saya tunjukan ke mereka akhirnya mereka mengakui bahwa mereka sudah melakukan hubungan badan di tempat kerja!!! Istri saya beberapa kali pingsan dan menangis terus-menerus karena terbongkarnya kasus ini.

Istri saya bersujud dan meminta maaf kepada saya dihadapan mereka dan mengaku bersalah, tetapi istri saya menyampaikan bahwa hal itu dilakukan karena dibawah tekanan dan paksaan si Z yang galak (si Z sepengetahuan saya memang galak kepada pegawainya), dan karena masih membutuhkan pekerjaan itu, bukan karena dasar saling suka, bahkan istri saya menyampaikan sesungguhnya hatinya sangat terpukul dan menjerit ketika peristiwa itu berlangsung (sama sekali tidak ada rasa suka ataupun menikmati) disamping itu memang istri saya masih membutuhkan pekerjaan untuk membantu kebutuhan keluarga.

Dalam BBM-an itu istri saya selalu meladeni apapun pertanyaan dari si Z, seperti “masih sayang ga sama aku?”, istriku menjawab “bukan masih tapi tetap”, lalu pertanyaan lainnya “enakan sama aku atau sama yang dirumah?”, istriku menjawab “ya disitu dong”, dll.

Istri saya membela diri sambil menangis, dan sambil menyebut “Demi Allah” bahwa apa yang dia jawab di BBM itu adalah bohong (bukan mewakili hatinya), semata-mata untuk nyenengin si Z, karena istri saya takut dimarahin, dan takut kehilangan pekerjaan itu. Istri saya meyakinkan saya bahwa cintanya, kasing sayangnya hanya untuk saya seorang. Tidak ada niatan sama sekali untuk menanam duri di daging saya.

Si Z akhirnya meminta maaf dan meyakinkan kami semua bahwa peristiwa itu adalah murni kesalahan dia, istri saya tidak bersalah katanya. Pengakuan istri saya bahwa kejadian itu terjadi sejak istri saya resign, entah kapan persisnya dan berapa kali kejadiannya. Mereka tidak bilang bulan apa dan berapa kali, walaupun sudah kami desak. Bahkan ibu Z memukuli suaminya di hadapan kami. Tapi Alhamdulillah bu, saya masih bisa mengendalikan emosi, tak sepatah kata kasar pun yang keluar dari mulut saya, apalagi perlakuan fisik baik itu ke si Z ataupun ke istri saya.

Setelah interogasi itu selesai dan si Z dan ibu Y sudah pulang, Akhirnya orang tua (ibu) dari istri saya dipanggil oleh kakak ipar saya untuk menceritakan kejadian ini, kembali istri saya menangis dan sungguh-sungguh menyesali perbuatannya dan tetap dia membela diri bahwa semua ini adalah didesak, dibawah tekanan, sama sekali tidak ada niatan, istri saya tidak berdaya, dan terpaksa meladeni nafsu setan si Z.

Akhirnya istri saya bersujud dikaki saya dan mencuci kaki saya lalu membasuhkan air cucian itu kemukanya dan bahkan diminumnya sambil disaksikan oleh ibunya dan kakak nya dan sambil berjanji tidak akan mengulanginya lagi dan kembali meyakinkan kami bahwa peristiwa ini murni bukan kemauan istri saya dan tidak ada unsur suka-sama suka.

Akhirnya dengan mengucapkan Bismillah dan memohon ridho Allah SWT, saya memaafkan istri saya, saya kecup keningnya, saya peluk, dan saya coba mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. Tindakan ini saya ambil karena demi mempertahankan bahtera rumah tangga saya dengan istri tercinta saya dan juga demi masa depan anak-anak saya. Saya tidak ingin anak-anak bertanya “ Ayah, Bunda mana?” ataupun sebaliknya “Bunda,, ayah mana?”.

Akhirnya saya menyuruh istri saya untuk berhenti kerja dan menghapus nama si Z di daftar BBM nya, semua barang-barang istri saya yang berhubungan dengan pekerjaannya kami buang. Dan sekarang sudah bersih tak tersisa, bahkan ganti no HP. Dan istri saya sekarang konsentrasi wiraswasta bisnis online.

1 hari, 2 hari dan sebulan sudah terlewati, cobaan itu kami lewati, Alhamdulillah kami tidak pernah melewati shalat 5 waktu, shalat malam dan tidak pernah terlewat untuk shalat berjama’ah, perlu diketahui bahwa istri saya berkerudung. Alhamdulillah keadaan istri saya sudah kondunsif, tetapi yang menjadi masalah baru sekarang adalah ada pada diri saya. Saya sedang melawan diri saya sendiri.

Saya memang tidak pernah melihat kejadian itu, tapi saya bisa berimajinasi, membayangkan apa saja yang mereka lakukan berdasarkan rentetan percakapan mereka di BBM, tidak bisa saya lupakan. Itu yang mengganggu saya. Bayang-bayang kotor kelakuan mereka selalu ada dipikirian saya. Astagfirullah…. sungguh sangat mengganggu, saya selalu mengangis bila mengingatnya.

Selalu ada dorongan yang sangat kuat yang selalu hadir setiap hari di pikiran saya untuk menanyakan kronologis yang sebenarnya mengapa peristiwa itu bisa terjadi, saya selalu ingin menanyakan seberapa besar tekanan dan paksaan itu diterima oleh istri saya sehingga istri saya mau meladeni si Z?, berapa kali persetubuhan itu terjadi?, dimana saja?, kapan saja?, apakah istri saya menikmati persetubuhan itu walaupun dalam keadaan terpaksa? Kenapa istri saya tidak melawan? Dan banyak lagi misteri-misteri yang belum saya ketahui yang ingin saya tanyakan ke istri saya. Terkadang saya menghibur diri dengan berkata pada diri saya sendiri bahwa segala sesuatu yang saya tidak tahu, hanya Allah lah yang tahu.

Pantaskah saya menanyakan hal itu? Atau saya pendam dan saya kubur dalam-dalam pertanyaan itu? Tapi rasa keingintahuan saya sangat besar… tapi saya berpikir kalaupun istri saya cerita, apakah akan menambah sakit hati ini. Perlu diketahui bila saya menyinggung sedikit saja peristiwa itu, maka istri saya langsung merasa terpojokan, marah pada saya, menangis bahkan kadang suka ngelantur karena saking tertekannya.

Istri saya selalu menyampaikan kepada saya : “Ayah, tolong jangan pernah ungkit-ungkit kembali peristiwa itu, bunda  sangat sakit hati, bukan kemauan bunda, hati bunda juga menjerit, bunda sudah taubat, bunda sudah bahagia sekarang, bunda sudah terbebas dari lingkaran setan itu, bunda sangat senang sudah terbebas… Bunda sangat berterima kasih sama Allah bahwa Allah telah memberikan suami yang sempurna untuk bunda. Bunda ingin bahagia bersama ayah dan anak-anak dan menjalankan bisnis kita. Bunda sangat bahagia sekarang”.

Nama , tempat, angka angka adalah samaran, kisah ini kami tuangkan sebagai pembelajaran bahwa perselingkuhan itu akan selalu berakhir tidak mengenakkan , dan sangat merusak tatanan keluarga, moral, agama, bermasyarakat…

Bila mau selingkuh…berfikirlah 1000 kali lebih sebelum anda melakukannya…

Sumber ://www.eramuslim.com