Jumat, 10 Mei 2013

Makalah Studi Alquran

BAB I
PENDAHULUAN

Orang yang hendak menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, terlebih dahulu harus tahu dan memahami dulu beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan pemahaman makna kalimat yang hendak ditafsirkan. maka dalam hal ini terdapat Qawaid Tafsir. Qawaid Tafsir itu sendiri adalah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, sedangkan Muthlaq dan Muqoyyad ini merupakan salah satu bagian dari macam-macam Qawaid Tafsir yang merupakan inti materi yang akan penulis jelaskan lebih jauh dalam makalah ini.
Didalam pembahasan tentang muthlaq dan muqoyyad merupakan hal yang paling terpenting untuk dijelaskan karena seseorang yang belajar ilmu alquran atau ilmu fiqih namun tidak mengerti akan perbedaan dari muthlaq dan muqoyyad akan terjadi kesalahfahaman dalam mengartikan sebuah ayat atau kitab lainya. Di dalam pembahasan tafsir yang banyak terjadi kesalahfahaman itu terletak pada pembahasan muthlaq dan muqoyyad. memang pembahasan tersebut memerlukan ketelitian dan kehati-hatian sehingga seseorang dalam memahami ayat tidak cukup mamahami secara dohir saja akan tetapi harus mengetahui tentang muthlaq dan muqoyyad atau memahami tafsiran ayat tersebut. Tulisan ini akan mencoba membahas tentang muthlaq dan muqoyyad dalam qowa’id al-tafsir

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Muthlaq
Kata muthlaq secara bahasa berarti tidak terikat dengan ikatan atau syarat tertentu, secara istilah lafal muthlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudu’nya (sasaran penggunaan lafal ) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal muthlaq sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya. Dengan kata lafal muthlak adalah lafal yang menunjukkan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu.
Muthlaq ialah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti firman Allah SWT
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
Maka bebaskanlah seorang hamba sahaya (Al-Mujâdilah ayat 3)
Artinya :Maka (wajib) atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Ini berarti boleh membebaskan  hamba sahaya yang tidak mukmin atau hamba sahaya yang mukmin.
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujâdilah ayat 3)
Dalam ayat diatas terdapat lafal yang berarti budak yang tidak ada batasannya berupa sifat atau keadaan lainnya yang membatasi cakupannya. Sehingga lafal budak ini digolongkan kepada lafal muthlaq, karena mencakup sembarang budak.
2. Muqayyad
Muqayyad ialah suatu lafaz yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan.
Menurut Syekh Al-Khudri Beik mengatakan bahwa Muqayyad adalah :
“Muqayyad ialah lafal yang menunjukkan kepada suatu objek (afrad) atau beberapa obyek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu”
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan muqayyad itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti.
Sebagai contoh :
Artinya : “Maka hendaklah (ia) memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyad yang diserahkan kepada keluarganya”

Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya(QS.An-nisa’ ayat 92)
Lafal budak yang beriman merupakan muqayad, karena telah dibatasi oleh suatu sifat yang cakupan maknanya menjadi lebih spesifik dan terbatas. Jika disebut budak yang beriman berarti budak yang tidak beriman tidak tercakup didalamnya.
B. Hukum Lafal Muthlaq dan Muqoyyad
Lafal mutlaq dan muqayad masing-masing menunjukkan kepada makna yang qath’i dalalahnya, karena itu bila lafadh itu muthlaq maka harus diamalkan sesuai dengan muthlaqnya, bila lafal itu muqayad maka harus diamalkan sesuai dengan muqayadnya, yang demikian itu berlaku selama belum ada dalil yang memalingkan artinya dari muthlaq ke muqayad. Adapun contoh-contohnya antara lain :
1. Lafal Muthlaq yang harus diamalkan sesuai dengan muthlaqnya, karena tak ada dalil lain yang memalingkan aslinya ke Muqayyad seperti yang terdapat dalam firman Allah mengenai wanita-wanita yang haram di nikahi dalam surat An-Nisa ayat 23 :

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Lafal أُمَّهَاتُ adalah muthlaq yang memberi pengertian haram mengawini ibu si istri (mertua) baik ia telah mencampuri istrinya ataupun belum.


2.  Lafal Muthlaq yang ada dalil lain yang menyebabkan ia menjadi muqayad seperti dalam firman Allah mengenai kewarisan pada surat An-Nisa ayat 11 :


Lafal وَصِيَّة disini adalah muthlaq tanpa ada batasan apakah wasiat itu seperdua, sepertiga atau seluruh harta peninggalan. Akan tetapi di tempat lain ada hadits Rasulullah saw. yang mengabarkan bahwa saat Ibnu Abi Waqqas bertanya kepada Rasululah saw. dalam suatu dialog ketika beliau mengunjunginya waktu ia sakit, berapa seharusnya ia berwasiat terhadap harta bendanya. Rasulullah saw. menjawab :
artinya : “sepertiga dan sepertiga itu banyak”
Hadits ini membatasi wasiat itu hanya sampai sepertiga saja. Tidak boleh lebih. Dengan demikian wasiat dalam ayat di atas menjadi muqayyad dengan adanya hadits tersebut.
3. Lafal Muqayyad yang tetap atas maqayadnya karena tidak ada dalil lain yang menghapuskan batasannya. Contoh firman Allah tentang kifarat zihar dalam surat Al-Mujadilah ayat 3-4
                        
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
                                
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Pelaksanaan kifarat zihar dengan memerdekakan budak dan puasa yang diberi batasan berturut selama dua bulan dan harus dilakukan sebelum kedua suami istri bercampur adalah muqayyad dengan ketentuan tersebut, tidak boleh dilakukan sesudah bercampur dan juga tidak boleh tidak berturut-turut berpuasa selama 2 bulan.
4. Lafal Muqayyad yang tidak menjadi muqayyad lagi karena ada dalil lain yang menghapuskan batasannya itu. Contoh pada firman allah dalam surat An-Nisa ayat 23 tentang wanita-wanita yang haram dikawini disitu disebutkan :

              

Lafal رَبَائِبُكُمُ (anak tirimu) adalah muthlaq yang diberi batasan dengan dua batasan. Yang pertama  (yang berada dalam pemeliharaanmu)
dan yang kedua, ibunya sudah dicampuri ()
Batasan yang kedua yaitu “ibunya yang dicampuri” Maka tidak berdosa kamu mengawininya selama ibunya belum dicampuri. Bila sudah dicampuri hukumnya haram.


C. Kedudukan Muthlaq dan Muqoyyad
Prinsip dasar yang harus diperhatikan lafal nash muthlaq dan muqayad ini adalah lafal muthlaq tetap pada kemuthlaqannya, selama tidak ada dalil yang memberikan batasan dan begitu pula sebaliknya, muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Jika lafal muthlaq terdapat suatu dalil yang memberi qayyid maka ia berubah tidak muthlaq lagi, ada dua segi yang harus diperhatikan dalam melihat kedudukan lafal muthlaq dan muqayyad.
1.  Membawa muthlaq kepada muqayad, kemudian di tempat lain disebutkan dengan muqayyad. Hal seperti ini ada 2 ketentuan yaitu :
a). Jika ketentuan hukum sama dan sebab penetapannya juga sama. Contoh dalam Al-Quran dijelaskan sebagai berikut :


Artinya: ”diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging Babi (QS, Al-Maidah : 3)
Di dalam ayat ini, lafal الدَّمُ (darah) disebutkan secara muthlaq tanpa dibatasi oleh sifat-sifat bagi darah tersebut. Kemudian dalam nash lain disebut bahwa darah yang mengalir. Hal ini dijelaskan dalam nash lain sebagai berikut :
       •          ••        •           •      
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena Sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".(Al-An’am ayat 145)
Dalam ayat ini, disebutkan darah yang mengalir (مَسْفُوحًا دَمًا) dengan demikian lafal (دَمًا) menjadi muqayyad, karena telah diberi batasan dengan kata (مَسْفُوحًا)
b). Ketentuan hukum berlaku sama, tetapi sebab yang melatarbelakangi penetapannya berbeda. Contoh tentang kafarat zihar dan kafarat pembunuhan tak sengaja (tersalah), dengan memerdekakan seorang budak. Kafarat zihar disebutkan dengan lafal muthlaq, seperti dalam ayat :
                         
Dan orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Mujadalah ayat 3):
Kemudian tentang kafarat pembunuhan tak sengaja (tersalah) disebutkan dengan lafal muqayyad seperti dalam ayat :
   •        
Dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah  (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat  yang diserahkan kepada keluarganya (QS. An-Nisa : 92).

Dari kedua ayat diatas dapat dipahami bahwa ketentuan hukum berlaku sama, yaitu kafarat memerdekakan budak, tetapi pada ayat pertama disebutkan secara muthlaq dan pada ayat kedua secara muqayyad yakni budak yang mukmin
2.  Muthlaq tidak dibawa kemuqayyad. Dalam hal seperti ini ada dua hal yang harus diperhatikan :
a).  Jika ketentuan hukum muthlaq dan muqayyad berbeda serta latar belakang kasusnya (sebab) juga berbeda, maka muthlaq tidak dibawa kepada muqayyad. Ketentuan hukum muthlaq diamalkan sesuai dengan muthlaqnya, begitupun sebaliknya.
Contoh tentang lafal (tangan) yang berkaitan dengan potong tangan karena mencuri dan kewajiban membasuh tangan ketika berwhudu’. Kedua kasus ini berbeda ketentuan hukumnya dan berbeda pula latar belakangnya. Ayat berikut ini dapat dipahami yaitu :
                
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah : 38).
Lafal tangan (yadun) pada ayat ini adalah muthlaq dan tidak dapat diberi qayid (batasan) hingga siku atau pergelangan tangan.  Sementara itu dalam ayat berikut ini di jelaskan lafal tangan diberi qayid yang kedudukannya muqayyad.

                 
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, .” (QS. Al-Maidah: 6)
Kata aydikum dalam ayat ini di-muqoyyad-kan dengan siku sehingga tidak lagi dimaknai tangan secara mutlak. Dengan demikian, lafal itu bermakna bahwa tangan yang wajib dibasuh adalah bagian yang meliputi ujung jari sampai siku. Demikian pula kata arjulakum (kakimu), ia tidak diartikan kepada kaki secara muthlaq, tetapi di-qaid-kan dengan ilal ka’bain (hingga dua mata kaki). Dengan demikian, makna kaki dibatasi pada bagian tertentu saja, yaitu mata kaki, buka seluruh bagian kaki.
Dari contoh kasus dalam dua ayat diatas, maka muthlaq tidak dibawa ke muqayad, masing-masing diamalkan sesuai dengan ketentuan hukumnya. Karena baik ketentuan hukumnya maupun latarbelakang kasusnya berbeda satu sama lainya.
b).   Ketentuan hukum berbeda tetapi latar belakang kasusnya sama. Dalam hal ini muthlaq dan muqayyad diamalkan sesuai dengan ketentuan hukumnya masing-masing. Misalnya kedua tangan hingga siku adalah muqayyad. Sementara dalam soal tayamum disuruh sapulah tanganmu, tetapi disebut dalam bentuk muthlaq seperti :
        
artinya : “...Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (bersih) sapulah (usaplah) mukamu dan tanganmu dengan tanah itu” (QS. Al-Maidah: 6)
Kedua kasus ini hukumnya tidak sama, Akan tetapi sebab dan latar belakang kasusnya sama yaitu karena hendak mendirikan shalat.
Al-Quran dalam menggunakan suatu lafal kadang-kadang dalam bentuk muthlaq dalam suatu perbincangan, tetapi dalam perbincangan lainnya ia menggunakan lafal muqoyyad. Menjadi persoalan disini, apakah lafal Muthlaq itu boleh ditafsirkan dengan lafal muthlaq tersebut?, terdapat beberapa kaidah mengenai hal itu, yaitu sebagai berikut :
a.    Apabila lafal muthlaq dan muqoyyad itu memperbincangkan persoalan dan hukum yang sama, maka para ulama sepakat bahwa lafal muthlaq itu di-muqoyyad-kan oleh lafal muqoyyad yang ada.
b.    Apabila lafal muthlaq dan muqoyyad itu memperbincangkan sebab yang sama, tetapi hukumnya berbeda, para ulama sepakat bahwa lafal muthlaq itu tidak dapat di-muqoyyad-kan oleh lafal muqoyyad yang ada.
c.    Apabila lafal muthlaq dan muqoyyad itu memperbincangkan sebab yang berbeda tetapi hukumnya sama, maka para ulama tidak sepakat mengenai boleh atau tidaknya lafal muthlaq itu di-muqoyyad-kan oleh lafal muqoyyad yang ada. Imam Hanafi berpendapat, lafal muthlaq itu tidak bisa dimuqoyyad-kan dengan lafal muqoyyad yang ada. Akan tetapi, jumhur ulama membolehkan lafal muthlaq itu tidak bisa di-muqoyyad-kan dengannya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Muthlaq adalah suatu lafaz nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya. Muqayyad adalah suatu lafal yang maknanya telah tertentu, karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti.
Lafaz muthlaq dan muqayyad masing-masing menunjukkan kepada makna yang qad’i dalalahnya. Bila lafaz itu muthlaq maka harus diamalkan sesuai dengan ke-muthlaq-kannya, begitupun sebaliknya dengan muqayyad.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, pemakalah menyadari banyaknya kekurangan-kekurangan, baik dari segi isi maupun dalam penulisan. Untuk itu kami sebagai pemakalah sangat mengharapkan sekali baik itu kritikan, saran, ataupun masukan yang sifatnya membangun dan demi kemajuan masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta, 1985.
Manna Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qua’an,Maktabah Wahbah, Kairo, 2004.
Bakry Nazar, Fiqh & Ushul Fiqh, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2003.
Yusuf.M Kadar, Studi Alquran, Amzah, Jakarta: 2012.
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh, Zikrul Hakim, Jakarta : 2004.
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Gaya Media Pratama, Jakarta : 1999
Daly Deunoh, Syihab Quraisy, Ushul Fiqh II, Depertemen Agama, Jakarta : 1986.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar